Selasa, 03 Februari 2009

Kampanye Visual

Dahulu pemilihan umum dilaksanakan seperti memilih kucing dalam karung. Rakyat hanya memilih satu partai politik di pemilu dan simsalabim, pejabat terpilih tanpa rakyat harus memilih. Ketika kita masih memilih kucing dalam karung spanduk partai-lah yang menjadi pelengkap pemandangan di jalan, entah kita menyukai atau tidak. Kampanye motor yang memecu gendang telinga juga menjadi hal yang lazim.

Sekarang kampanye visual lebih dominant daripada kampanye motor. Lagi pula hal itu dilaksanakan setiap akan pemilihan wakil rakyat, dan itu dilaksanakan berkali-kali dalan setahun. Sekarang kita tidak lagi memilih kucing dalam karung. Kita bisa mengetahui wajah dan nama calon wakil rakyat. Tidak mengherankan apabila mereka berusaha memperkenalkan dirinya kepada rakyat. Sehingga mereka berusaha berkampanye sebaik mungkin. Salah satu caranya adalah memperkenalkan diri mereka melalui kampanye visual di jalan. Terkadang penulis bertanya “siapa orang ini?”. Penulis belum tahu kontribusi apa yang pernak mereka berikan kapada rakyat. Penulis juga belum tahu kharisma mereka.

Kebanyakan caleg berusaha mendominankan wajah, nama, dan partai yang mengusungnya. Bahkan ada pula yang melampirkan tokoh kharismatik di samping fotonya dan gambar itu menceritakan pula bahwa ia berasal dari partai terkenal. Jika demikian dia manjadi caleg atas nama tokoh kharismatik itu dan partai politiknya, bukan atas nama sendiri. Jika kampanyanya hanya begini, caleg tidak mengkomunikasikan apa kehebatan dirinya.

Untuk bisa mewujudkan gambar besar nan indah tentunya dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Caleg harus menyediakan dana pribadi dan dana sponsor untuk mendanai kampanyenya. Beruntung jika dia berhasil terpulih, jika tidak dia akan menanggung defisit yang cukup besar. Tidak jarang hal tersebut akan menyusahkan dirinya. Jika dia berhasil menjadi anggota legidlatif bisa jadi dia berfikiran bahwa uang ang ia keluarkan harus kembali sebisa mungkin. Hal ini bisa mengubah arena politik manjadi terlihat seperti lading uang. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan yang ia telurkan pun menjadi bertujuan untuk memperkaya dirinya.

Seorang caleg harus bersaing dengan caleg lainya untuk menarik hati rakyat. Wajar saja jika mereka berusaha memperbesar ukuran dirinya di poster/baliho untuk meredam dominasi caleg lain. Mereka juga berusaha agar setiap tempat iklan visualnya. Hal ini menyebabkan tempart-tempat strategis dibanjiri alat kampanye visual. Gambar-gambar mereka seringkali merusak pemandangan jalan dan kota. Sehingga jalan yang semula bersih dari gambar caleg menjadi bertaburan gambar caleg dan kurang sedap dilihat.

Kesemrawutan gambar-gambar caleg tidak akan terjadi jika aparat menertibkanya dan pemasangan poster atau baliho caleg memiliki peraturan yang jelas. Sebaiknya poster atau baliho caleg diberikan ijin dalam waktu tertentu. Sehingga pengotoran pemandangan hanya berlaku sementara. Apabila sudah lewat batas waktu aparat berhak merapikan kota kembali.

Pengototan visual ini akan terminimalkan apabila penyelenggara pesta demokrsasi menyediakan suatu alun-alun khusus untk kampanye visual para caleg. Di alun-alun itu masing-masing caleg diberi kapling untuk memesang kampanye visual mereka. Mereka bebas berkampanye visual di kapling tersebut. Hal ini akan menghindarkan jalan dari pemandangan yang merusaknya.

1 komentar:

Randi Kurniawan mengatakan...

Kampanye visual memang merupakan suatu hal yang lumrah saat ini. bahkan, sebetulnya yang lebih lumrah lagi adalah kampanye audio visual yang memang hanya bisa digarap oleh figur dan partai yang berkantong tebal.

btw, tulisan kamu cukup bagus. namun perlu lebih difokuskan pada satu permasalahan, dalam hal ini adalah pendanaan caleg. pertanyaan-pertanyaan yang mesti dijawab adalah dari mana dana kampanye caleg? apakah terjadi money politics? bagaimana mengatasi permasalahan tersebut? jadi, ngak perlu menggarap tema penertiban spanduk, baliho, dan lain-lain.

saran saya yang lebih penting adalah silakan kirim tulisan ini ke media yang ingin kamu tuju. bila belum dimuat, jangan pernah berhenti menulis.